Aku tahu
Sebentang danau yang dalam usai kau seberangi
Serintang padang onak kau lalui
Juga setebing karang curam sudah terlewati
Sejak sore tadi hingga bulan tegak di kepala
Aku tahu, ada yang kau telah renungi sepanjang malam
Tentang coba yang masih melintang
Tentang anugerah yang tertuda
Tentang cinta yang makin tegar!
Maka pagi ini, setelah mentari menelan dini hari
Di depan cermin, senyummu mengembang lagi
Dan hari ini adalah seperti kemarin
Juga hari-hari yang terjalani
: kamu semakin cantik dari hari ke hari
Aku melihatmu cantik setiap hari
(HHH, untuk Azimah, September 2004)
***
Tahukah engkau, aku makin cantik hari ini! Sungguh, aku makin cantik! Lebih cantik dari kemarin, dari kemarinnya lagi, dan dari kemarin-kemarinnya lagi. Coba lihat, dahiku tidak berkerut-kerut oleh pikiran dan kepedihan seperti beberapa hari yang lalu. Bibirku tidak mengerucut oleh kejengkelan dan kemarahan seperti kemarin. Mukaku tidak lagi tertekuk penuh beban dan “kebetean” seperti waktu-waktu yang lewat. Tubuhku tidak lagi lesu karena keputusasaan dan kehilangan harapan.
Sungguh, aku makin cantik hari ini! Coba perhatikan, mataku bersinar-sinar oleh kegembiraan. Bibirku merekah lebar oleh senyum ketulusan. Pipiku merona merah oleh semangat pengharapan. Urat-urat wajahku santai memancarkan aura kepasrahan. Semuanya menjadikan wajahku berseri-seri. Sungguh, cantiknya aku hari ini!
Sudah sepekan aku banyak tertawa, menari, menyanyi, menikmati hidup ini, dan tidak membiarkan permasalahan memengaruhi suasana hati. Ah, cantiknya diriku karenanya. Sudah sepekan, aku berusaha banyak menyapa dan memaafkan semua saudara. Hal itu telah membuatku lebih cantik hari ini. Sudah seminggu, aku berusaha lebih banyak berderma pada sesama. Kini, aku merasakan cantik sebagai balasannya. Sudah seperempat bulan, aku berusaha lebih mensyukuri setiap karunia Ilahi. Kini, kurasakan Allah menambahi nikmat itu dengan menjadikanku cantik sekali. Bahagianya aku karenanya! Bahagia itu, kurasakan kian membuatku cantik saja.
***
Ada kalanya kita membenci diri kita sendiri. Ada kalanya kita tidak menyukai apa yang kita lakukan. Ada kalanya kita melakukan kesalahan. Ada kalanya kita terpuruk dalam kepedihan. Ada kalanya kita tenggelam dalam kesedihan. Ada kalanya kita tidak mengerti mengapa hidup berjalan tidak seperti yang kita bayangkan. Ada kalanya perjalanan menjadi demikian berat kita rasakan hingga sikap kitapun terbawa oleh perasaan, lalu kita mengambil langkah tanpa pertimbangan. Tindakan yang dilakukan pun akhirnya lebih berupa reaksi spontan. Akibatnya, yang tertinggal kemudian hanya penyesalan dan keterpurukan yang semakin dalam. Tahukah dikau? Semua itu akan menyebabkan penampilan kita makin buruk saja.
(bersambung)
taken from an inspirative book: Hari Ini Aku Makin Cantik
oleh Azimah Rahayu
Muharram, 1430 Hijriyah
Faith of Mafaza, Keyakinan Akan Sebuah Kemenangan
Mafaza. Kata ini adalah sebuah kemutlakan yang dijanjikan oleh Allah untuk menjadi predikat bagi Al-Muttaqin.
“Sesungguhnya bagi orang-orang bertaqwa ialah Mafaza (Kemenangan).” (QS. An Nabaa’:31)
Ada sebuah frasa menarik tentang hidup. Ia berbunyi, “Hiduplah untuk Maha Hidup”. Saya membuat dua definisi berbeda tentang ini. Pertama, hiduplah untuk Yang Maha Hidup. Jika kita menjadikan seluruh kehidupan kita untuk Yang Maha Hidup, maka tidak akan ada kekhawatiran, apalagi kekecewaan di sana. Karena hanya Yang Maha Hiduplah yang kita tuju. Karena hanya Yang Maha Hiduplah yang kita harapkan. Jika menaruh harapan pada manusia sangat mungkin berujung kekecewaan, maka menaruh harapan penuh kepadaNya adalah kunci kebahagiaan. Betapa bahagia, betapa indah jika hidup kita bisa kita persembahkan kepada Allah. Perhatikan, ada siratan halus tentang ikhlas di sana. Hidup untuk Yang Maha Hidup, berarti memenuhi janji yang selalu kita ikrarkan pada setiap tegak kita di lima waktu.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al An’aam:162)
Definisi kedua, yaitu hiduplah untuk maha hidup kita. Maha hidup kita (kehidupan abadi) di negeri akhirat sana. Dengan ini, insyaa Allah kita akan terpacu untuk selalu menjadikan kehidupan kita adalah kehidupan terbaik, yaitu mempersiapkan kematian terbaik. Kematian yang ketika dijemputnya, ada bisikan lembut di telinga,
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu.” (QS. Al Fajr: 27-30)
Ya, Faith of Mafaza. Keyakinan akan sebuah kemenangan. Kemenangan karena kita hidup untuk Yang Maha Hidup. Kemenangan karena kita mempersiapkan yang terbaik untuk maha hidup kita.
Sebagai tambahan, atas air mata duka Palestina yang menjadi duka kita semua. Keyakinan akan sebuah kemenangan itu akan selalu ada, wahai ikhwahfillah. Allah pasti memberikan kemenangan yang agung bagi bumi AL Quds. Saat ini, Allah tengah memberi penangguhan bagi musuh-musuh kita. Maka tunggulah barang sebetar. Tunggulah waktu kemenangan kita yang tak lama lagi.
Mafaza. Kata ini adalah sebuah kemutlakan yang dijanjikan oleh Allah untuk menjadi predikat bagi Al-Muttaqin.
“Sesungguhnya bagi orang-orang bertaqwa ialah Mafaza (Kemenangan).” (QS. An Nabaa’:31)
Ada sebuah frasa menarik tentang hidup. Ia berbunyi, “Hiduplah untuk Maha Hidup”. Saya membuat dua definisi berbeda tentang ini. Pertama, hiduplah untuk Yang Maha Hidup. Jika kita menjadikan seluruh kehidupan kita untuk Yang Maha Hidup, maka tidak akan ada kekhawatiran, apalagi kekecewaan di sana. Karena hanya Yang Maha Hiduplah yang kita tuju. Karena hanya Yang Maha Hiduplah yang kita harapkan. Jika menaruh harapan pada manusia sangat mungkin berujung kekecewaan, maka menaruh harapan penuh kepadaNya adalah kunci kebahagiaan. Betapa bahagia, betapa indah jika hidup kita bisa kita persembahkan kepada Allah. Perhatikan, ada siratan halus tentang ikhlas di sana. Hidup untuk Yang Maha Hidup, berarti memenuhi janji yang selalu kita ikrarkan pada setiap tegak kita di lima waktu.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al An’aam:162)
Definisi kedua, yaitu hiduplah untuk maha hidup kita. Maha hidup kita (kehidupan abadi) di negeri akhirat sana. Dengan ini, insyaa Allah kita akan terpacu untuk selalu menjadikan kehidupan kita adalah kehidupan terbaik, yaitu mempersiapkan kematian terbaik. Kematian yang ketika dijemputnya, ada bisikan lembut di telinga,
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu.” (QS. Al Fajr: 27-30)
Ya, Faith of Mafaza. Keyakinan akan sebuah kemenangan. Kemenangan karena kita hidup untuk Yang Maha Hidup. Kemenangan karena kita mempersiapkan yang terbaik untuk maha hidup kita.
Sebagai tambahan, atas air mata duka Palestina yang menjadi duka kita semua. Keyakinan akan sebuah kemenangan itu akan selalu ada, wahai ikhwahfillah. Allah pasti memberikan kemenangan yang agung bagi bumi AL Quds. Saat ini, Allah tengah memberi penangguhan bagi musuh-musuh kita. Maka tunggulah barang sebetar. Tunggulah waktu kemenangan kita yang tak lama lagi.
10 April 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment